Akhir-akhir ini gue bangun dengan perasaan yang sedikit tidak
mengenakkan. Selama ini, saat subuh menjelang setidaknya ada pesan yang masuk
ke hape gue, tapi udah dua hari ini nggak ada yang singgah karena doi sedang
melakukan orientasi untuk pekerjaan barunya selama seminggu ini. Berbekal rasa
bosan dan kangen itulah, gue nge scroll timeline dari
setiap sosmed yang ada di smartphone ini.
Perbincangan yang terjadi pada tiap updatean teman-teman ini
berbagai macam. Ada yang ngebahas mengenai terorisme, jualan aplikasi android,
kata-kata mutiara dan quotes-quotes receh mengenai kehidupan
yang pedih banget karena chat yang nggak dibalas setelah 5 menit di read doang.
*ehem**bukan pengalaman pribadi**seriusan*
Akan tetapi, ada salah satu postingan yang langsung tertangkap
oleh mata gue. Seolah-olah, temen gue yang tulis itu tau banget tentang hidup
gue, padahal kita nggak akrab-akrab banget, kenalnya juga karena dulu main get
rich. Nah, postingan itu temanya diet mayo. Alasan mata gue
responnya cepat terhadap isu ini mungkin karena dua alasan.
Yang pertama, disaat orang orang seluruh dunia ini mengutuk
serangan terorisme dan kekacauan di mana-mana, doi malah bahas tentang diet.
Kedua, doi seolah-olah tau kalau perut gue ini udah mesti disekolahin, karena
udah nggak tau diri banget. Bulan lalu dibeliin celana baru, eh sekarang udah
minta yang ukurannya lebih besar dua angka. Emangnya perut itu nggak tahu apa
kalau cari duit ini susah banget di jaman yang seperti ini? Mesti disekolahin
perut ini.
Isi dari postingan teman gue tadi itu adalah menurut penelitian
(entah penelitiannya dari mana gue juga nggak ngerti) disebutkan bahwa
diet mayo itu nggak baik bagi kesehatan karena hanya
mengurangi air di dalam tubuh, bukan persentase lemak. Yang artinya, apabila
kita makannya normal lagi, otomatis badan makin lebar, karena tubuh ini
sifatnya seperti sponge yang menyerap air yang masuk ke tubuh.
Hal ini juga diperkuat bahwa fakta yang ada bahwa komposisi tubuh kita adalah
90% lebih terdiri dari air.
Nah, ada hal yang menggelitik hati gue setelah membaca postingan
tadi. Bukannya kita tercipta dari tanah? Mengapa kita terdiri dari begitu
banyak air? Berterima kasihlah pada toilet yang telah memberikan umat manusia
berbagai macam ide ketika berada di dalamnya. Setelah sekitar 15 menit, gue
berhasil menciptakan kesimpulan yang sotoy banget lah buat teori gue.
Tubuh kita ini memang adalah tanah. Tempat di mana tumbuhan
bernama hati tumbuh. Kita semua tahu, bahwa tanaman amat berguna bagi kehidupan
manusia dan kelangsungan bumi ini sebagai penyangga hidup umat sepanjang masa.
Ada kalanya, kita sebagai manusia tidak lebih rendah dari hewan ketika
menyangkut masalah alam. Tahu akan pentingnya hutan, namun membakarnya dengan
dalih kehidupan yang lebih baik.
Selain menguatkan tanah dan mencegah kerusakan alam, tumbuhan
memiliki fungsi utama sebagai penghasil oksigen bagi bumi. Semakin besar pohon
itu, maka semakin banyak pula manfaatnya. Nggak pernah kan kita melihat pada
siang yang terik tak ada orang yang berteduh di bawah pohon yang rindang.
Walaupun tanpa buah, pohon yang besar dan kokoh akan bermanfaat bagi orang
banyak.
Begitu juga hati kita. Hati yang kuat dapat menjadi alasan untuk
tinggal. Hati yang rindang adalah alasan untuk berhenti sejenak melupakan
amarah. Akan kah hati kita akan menjadi pelindung bagi orang lain? Atau kah
hati kita ini hanya akan menjadi bencana karena kita tak mampu lagi menahan
beban lalu menimpakan semuanya pada jalan hidup?